Jumat, 03 Mei 2013

FIGUR PEMIMPIN YANG EDIAL MENURUT PARA AHLI

MENURUANG  BEBERAPA AHLI YANG MENGARTIKAN PEMIMPIN YG EDIAL

Kepemimpinan Ideal bagi Indonesia Menurut Ki Hajar Dewantara

Tut Wuri Handayani. Apakah yang terlintas di benak kita ketika mendengar semboyan tersebut? Seringkali kita jumpai rangkaian kata itu identik dengan dunia pendidikan, utamanya ketika menginjak bangku sekolah dasar. Ketika itu, Tut Wuri Handayani diperkenalkan dalam pelajaran sejarah, sebagai nilai-nilai bangsa Indonesia yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara. Filosofi “Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani” nyatanya begitu melekat di benak hingga saat ini. Perkembangan ilmu pengetahuan pada akhirnya menemukan bahwa terdapat kesesuaian antara filosofi tersebut dengan kepemimpinan yang ideal untuk bangsa Indonesia.
Ing ngarso Sung Tulodho, Seseoraang Pemimpin apabila didepan harus bisa memberi contoh atau menjadi panutan bagi yang dpimpin atau warganya atau peserta didiknya.
Ing ngarsa sung tuladha. Filosofi ini memiliki arti bahwa seseorang yang berada di garis depan atau seorang pemimpin, harus bisa memberi contoh kepada para anggotanya. Seorang leader akan dilihat oleh followernya sebagai panutan. Follower tidak hanya memperhatikan perilaku dari seorang leader secara pribadi, namun juga meliputi sejauh mana nilai-nilai budaya organisasi telah tertanam dalam diri leadernya, bagaimana cara leadernya dalam mengatasi masalah, sejauh mana leader berkomitmen terhadap organisasi, sampai kerelaan seorang leader untuk mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadinya. Oleh karena itu, sepatutnya seorang leader memiliki karakteristik-karakteristik yang dapat menjadi teladan untuk para followernya. Leader yang memiliki charisma atau seorang pemimpin yang kharismatik akan lebih mudah menjalankan peran ini. Hal ini disebabkan oleh charisma mereka yang dapat menginspirasi para followernya.
Ing madyo mangun karso, Seorang Pemimpin apabila berada ditengah tengah masyarakat harus bisa membangkitkan semangat atau memberi motivasi supaya lebih maju, atau lebih baik.  
Ing madya mangun karsa. Filosofi ini berarti bahwa seorang leader harus mampu menempatkan diri di tengah-tengah followernya sebagai pemberi semangat, motivasi, dan stimulus agar follower dapat mencapai kinerja yang lebih baik. Melalui filosofi ini, jelas bahwa seorang leader harus mampu mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan followernya. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut, akan memotivasi follower untuk memberikan yang terbaik bagi organisasi. Teori-teori motivasi memiliki peranan penting bagi seorang leader untuk mengaplikasikan peranan sesuai filosofi ke dua ini.
  Tut Wuri Handayani, Seorang Pemimpin apabila berada dibelakang harus bisa mendorong masyarakat/yang dipimpin supaya senantiasa lebih maju.

Tut wuri handayani. Filosofi yang terakhir ini memiliki makna bahwa seorang leader tidak hanya harus memberikan dorongan, namun juga memberikan arahan untuk kemajuan organisasi. Arahan di sini berarti leader harus mampu mengerahkan usaha-usaha followernya agar sejalan dengan visi, misi, dan strategi organisasi yang telah ditetapkan. Sebagai dasarnya, leader nilai-nilai organisasi harus tertanam kuat dalam diri masing-masing anggota.
Ketiga filosofi di atas saling berkaitan dan tidak dapat ditinggalkan salah satunya. Sebagai contoh, usaha seorang leader untuk menanamkan nilai-nilai organisasi kepada followernya. Dalam hal ini, seorang leader tidak bisa begitu saja mendorong dan mengarahkan perilaku followernya agar sesuai dengan nilai-nilai organisasi (tut wuri handayani). Namun, leader tersebut juga harus mampu memberikan contoh nyata bagaimana nilai-nilai organisasi telah tertanam dalam dirinya (ing ngarsa sung tuladha). Sembari member contoh, leader juga harus mengkomunikasikan nilai-nilai tersebut ke tengah-tengah followernya, dan memotivasi mereka untuk bertindak sejalan dengan nilai-nilai itu (ing madya mangun karsa).
Bila dilihat dari budaya bangsa menurut dimensi-dimensi Hofstede, akan ditemukan kesesuaian antara budaya kita, filosofi dari Ki Hajar Dewantara, dan gaya kepemimpinan yang diterapkan di Indonesia. Salah satu dimensi Hofstede, yaitu Power Distance Index (PDI) menunjukkan nilai yang tinggi pada budaya di Indonesia. Jarak kekuasaan yang tinggi mengindikasikan bahwa anggota-anggota dalam organisasi menerima adanya kekuasaan atau wewenang yang tidak didistribusikan secara merata. Nilai yang tinggi dalam dimensi ini berarti bahwa arahan dari leader merupakan sesuatu yang diinginkan dari para follower. Leader dituntut untuk bisa memberikan arahan dan pengawasan bagi para followernya. Hal ini kita jumpai pada salah satu filosofi di atas, yaitu tut wuri handayani.
A.    PENDAHULUAN
Mencari format kepemimpinan ideal bukanlah perkara yang mudah. Karena tak sembarang orang memiliki kapabilitas dan sifat-sifat kepemimpinan,  Terlebih jika bentuk ideal itu disandingkan dengan negara demokrasi yang belakangan ini ramai diperbincangkan. Di dalamnya termasuk HAM, kesetaraan, kesamaan hak dan lain sebagainya adalah isu yang tak lekang dari asas demokrasi.
Maka diperlukan analisis dan kajian yang tak mudah dalam mencari format ideal kepemimpinan di negara demokrasi. Dan timbullah pertanyaan sebagai rumusan masalah; apakah kepemimpinan ideal itu dalam kaitannya dengan negara demokrasi? Mengapa harus kepemimpinan yang ideal? Dan bagaimana kepemimpinan ideal itu dalam tataran praksis?
Akan tetapi sebelum membahas apa saja yang menjadi kriteria kepemimpinan ideal, tak bisa tidak jika kita terlebih dahulu membahas apa itu demokrasi, bagaimana, dan sejak kapan ide demokrasi muncul serta bagaimana perkembangannya, guna mendapatkan pemahaman yang komperehensif dan utuh.
B.     NEGARA DEMOKRASI
Negara merupakan bentuk wilayah kedaulatan yang berisi kumpulan masyarakat yang memiliki tujuan yang sama. Secara konseptual setiap negara memiliki ciri khas dan model pemerintahannya sendiri-sendiri, tergantung bagaimana konteks dan tuntutan masyarakat yang membentuk dan mewarnai corak pemerintahan negara tersebut. Tak terkecuali demokrasi.
Demokrasi secara etimologi berasal dari dua gabungan kata Yunani, yakni demos (rakyat) dan kratos (pemerintah) atau dalam bahasa ringkasnya ‘pemerintahan oleh rakyat’. Kiranya Athena, salah satu kota di Yunani, tempat pertama tercetusnya ide sistem politik demokrasi. Adalah Plato (428-374 SM) yang kemudian mengusulkan terbentuknya pemerintahan yang dikemudikan oleh orang bijak. Ia cemas jika mengamalkan arti demokrasi dalam artian ‘pemerintahan oleh rakyat’ akan meledak anarki. Aristoteles (384-322 SM) muridnya kemudian mengembangkan pendapat Plato yang tetap memberikan ruang bagi pendapat rakyat. Dan Aristoteles pulalah yang kemudian, berusaha mengkombinasikan antara sistem pemerintahan monarki dengan demokrasi.[1] Karena menurutnya pemerintahan yang berdasarkan gabungan antara monarki dan demokrasi adalah sistem pemerintahan yang ideal.[2] Hingga lambat laun demokrasi berkembang, dengan tumbuhnya majlis-majlis rakyat dan pengadilan hukum.[3]
Lalu paham demokrasi ini berkembang pada masa renaissans. Salah satu diantaranya adalah Machiavelli yang menyusun karya dengan judul Discorsi (Politik Kerakyatan). Dalam buku ini memang Machiavelli tidak secara khusus membahas demokrasi, bahkan baginya demokrasi bisa menghapus kekuasaan rakyat jika timbul anarki. Kapan timbul anarki? Menurut Machiavelli itu sangat tergantung pada ada-tidaknya peluang.[4] Dalam kaitan ini maka, ada kebutuhan agar rakyat memiliki wakil yang bisa melakukan kontrol, pembatasan sekaligus pendelegasian atas kepentingan-kepentingannya.
Pandangan ini kemudian dirumuskan secara menarik oleh John Locke, yang menyatakan kalau rakyat mendelegasikan kepentingannya melalui penciptaan pranata politik yang mempunyai tugas yang berbeda-beda. Locke memisahkan aspek legislatif (pembuat undang-undang dan hukum) dan yudikatif (pelaksanaan dari undang-undang dan hukum). Karena itu sistem pemerintahan yang baik, menurut Locke, adalah memiliki seorang raja yang memiliki kekuasaan eksekutif dan sebuah parlemen yang memiliki kekuasan untuk membuat hukum serta undang-undang. Gagasan Locke ini kemudian diperluas oleh Montesquie yang memisahkan tiga aspek kekuasaan, yakni kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kemudian sistem ini dinamai dengan sistem trias politica yang hingga kini menjadi kaidah dalam penerapan sistem politik modern.[5]
Dalam perkembangannya asas demokrasi menjadi primadona bagi negara-negara yang masyarakatnya mendambakan kebebasan. Karena pemaknaan demokrasi tidak lagi hanya berkaitan dengan politik, melainkan juga dalam tataran empirik, yakni bersangkut-paut dengan liberalisasi, partisipasi dan inklusivitas. Demokrasi sebagaimana yang dikemukakan David Held memiliki pengertian penegakkan prinsip dasar otonomi individu. Menurutnya orang seharusnya bebas dan setara dalam menentukan kondisi kehidupannya; yaitu, mereka harus memperoleh hak yang sama (dan karena itu, memiliki kewajiban yang sama) dalam satu kerangka pikir yang menghasilkan dan membatasi peluang yang tersedia untuk mereka. Definisi ini merupakan perluasan dari konsep demokrasi dalam artian politik, dengan menitikberatkan pada liberalisasi dan partisipasi yang lebih besar.
Melalui pandangan semacam ini maka konsep demokrasi kemudian meluaskan definisinya. David Held memang menguji-cobakan konsep demokrasi yang bisa menyentuh aspek di luar politik. Pergerakan definisi demokrasi yang makin meluas ini yang kemudian mendorong sejumlah kalangan untuk mencoba memberikan rumusan aplikatif demokrasi. Pelebaran makna demokrasi ini ditunjang oleh bergeraknya kekuatan-kekuatan masyarakat sipil yang melakukan tuntutan bagi kemandirian individu sebagai warga negara, jaminan atas hak-hak asasi manusia, kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat. Gelombang perlawanan masyarakat sipil ini terutama berlangsung di sejumlah negara yang penguasanya diktator.[6]
Nah, kebebasan dalam demokrasi ini pula yang dinilai sejumlah kalangan tidak hanya memiliki nilai positif, tetapi juga dampak negatif yang tak kalah besar. Sebab, kebebasan yang tak terbatasi akan menimbulkan ketidakstabilan kehidupan masyarakat yang masing-masing individunya selalu mendahulukan hak kebebasan pribadinya dengan melanggar hak-hak orang lain pula. Oleh karena itu, dalam pembentukan negara demokrasi diperlukan pula ketegasan dalam ‘pembatasan’ kebebasan itu sendiri. Dengan cara apa? Dengan cara mendampingi kebebasan itu dengan norma dan hukum yang kuat. Jika tidak, bukan tidak mungkin jika sebuah negara akan runtuh akibat kebebasan yang tak terkendali.
Emha Ainun Nadjib mengatakan:
“Demokrasi itu bak “perawan”, yang merdeka dan memerdekakan. Memiliki watak ‘mempersilahkan’, tidak punya konsep menolak, menyingkirkan, atau membuang. Semua makhluk penghuni kehidupan berhak hidup bersama si perawan, bahkan berhak memperkosanya: yang melarang memperkosa bukan si perawan itu sendiri, melainkan “sahabat”-nya yang bernama moral dan hukum.[7]
Lebih lanjut Emha mengutarakan bahwa demokrasi tidaklah bertugas mengawasi bentuk-bentuk penyelewengan seperti money politic, korupsi dan lain sebagainya, karena yang bertugas untuk itu adalah undang-undang. Bahkan demokrasi mempersilahkan siswa SD menenggak narkoba, murid SMP nonton bareng video porno, lelaki berpoligami atau bermonogami, suami-suami istri-istri bertukar teman tidur, warga ikut nyontreng atau memilih golput, atau melakukan apapun dan tidak melakukan apapun dalam kehidupan yang merdeka semerdeka-merdekanya. Karena, yang mengurusi narkoba bukan demokrasi, tapi rekanan kerja peradabannya yang bernama ilmu kesehatan. Yang mengantisipasi video porno adalah moral dan keselamatan hidup. Yang merespons pertukaran suami-istri adalah keseimbangan sosial. Yang mewaspadai pemilu dan golput adalah pertandingan kekuasaan dan akses politik.[8]
Pandangan Emha ini merujuk pada realita kehidupan bernegara yang menganut asas demokrasi sebagai ideologinya. Ia juga mengatakan bahwa kapitalisme juga akan berkembang secara bebas (bahkan bisa saja kelewat batas), jika kebebasan dalam berdemokrasi disuatu negara tidak diimbangi dengan peraturan dan perundang-undangan yang kuat dan berpihak pada rakyatnya. Pandangan ini akan semakin kuat karena demokrasi juga berorientasi pada kemandirian ekonomi. Dan kemandirian ekonomi otomatis menumbuhkan atmosfer persaingan ekonomi yang kompetitif di kalangan para pemilik modal (kapitalis). Semakin besar modal yang dimiliki maka akan semakin kuat dalam bersaing.
Dari semua paparan di atas mengenai demokrasi, kita setidaknya telah bisa mengambil beberapa gambaran yang berkaitan dengan dampak dari demokrasi; baik dan buruknya. Oleh karenanya, agar ‘yang buruk’ tidak mendominasi terhadap ‘yang baik’ maka diperlukan seorang pemimpin yang mampu menjadi lokomotif bagi negara-negara penganut demokrasi yang melulu menuntut kebebasan. Seorang pemimpin yang dapat membawa masyarakatnya sadar akan persamaan hak sembari tidak melupakan kewajiban. Seorang pemimpin yang bisa menjadi pengayom, pelindung dan pembawa kesejahteraan bagi rakyatnya tanpa pandang bulu. Seorang pemimpin yang cakap, tak hanya luarnya tapi juga dalamnya. Seorang pemimpin ideal yang akan selalu diingat oleh rakyatnya.
C.    KEPEMIMPINAN IDEAL NEGARA DEMOKRASI
Setiap negara memiliki corak pemerintahannya tersendiri, dan setiap model pemerintahan juga memiliki ciri khas pemimpin idealnya. Entah itu monarki, aristokrasi ataupun demokrasi. Yang jelas, setiap warga negara menginginkan keadilan dan kesejahteraan bisa dicapai tanpa pandang status sosial. Karena sebagaimana dalam pandangan Islam: “Tasharruful imam manuthun bil mashlahah,”Orientasi seorang pemimpin terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin.”[9]
Berkaca dari paparan negara tentang konsep negara demokrasi di atas, ,yang mana pada dasarnya demokrasi berorientasi pada kebebasan dan kesetaraan, maka diperlukan sosok pemimpin yang mampu menampung dan memilah aspirasi rakyatnya. Pemimpin yang memiliki jiwa dan sifat-sifat kepemimpinan yang ideal. Pemimpin yang dapat menjamin kebebasan dan kesamaan hak serta kesetaraan yang diidam-idamkan negara demokrasi, akan tetapi tetap dalam koridor pembatasan-pembatasan norma yang dibentengi oleh peraturan dan hukum. Karena jika kebebasan manusia tidak bisa dikendalikan lagi, maka sebuah negara akan hancur dengan sendirinya.
Kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi.[10] Sedangkan Rauch & Behling mengatakan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktifitas-aktifitas sebuah kelompok yang diorganisasi ke arah pencapaian tujuan.[11]
Senada dengan dua pendapat diatas, Toto Tasmara juga mengatakan bahwa secara fitrahnya, manusia telah berpredikat sebagai pemimpin, karena manusia terlahir dengan bakat mempengaruhi.[12] Rasulullah saw pernah bersabda:
“Setiap orang adalah pemimpin dan kelak akan dimintakan pertanggungjawaban berkaitan dengan kepemimpinannya.”
Dari ungkapan ini jelas bahwa manusia telah terlahir dan berpredikat sebagai pemimpin dan tugas manusia itu pula yang harus menghidupkan dan menggali potensi kepemimpinannya untuk memberikan pelayanan serta pengabdian yang diniatkan semata-mata karena Allah, oleh karena itu Allah menyebut manusia sebagai khalifah fil ardh.[13]
Emha Ainun Nadjib memberikan beberapa kriteria yang berkaitan dengan negara demokrasi. Menurutnya, sekurang-kurangnya pemimpin harus memiliki tiga kriteria kepemimpinan: kebersihan hati, kecerdasan pikiran serta keberanian mental. Jika pemimpin hanya memiliki kebersihan hati saja misalnya, tanpa didukung kecerdasan intelektual dan keberanian, maka kepemimpinannya bisa gampang stagnan. Begitu pula sebaliknya.
Sedangkan jika seorang pemimpin hanya memiliki kecerdasan belaka tanpa didukung kebersihan hati dan keberanian, maka jadinya seperti “menara gading” alias monumen yang bukan hanya tanpa makna, tetapi juga mengganggu kehidupan rakyatnya. Apalagi jika pemimpin hanya memiliki keberanian saja tanpa kebersihan hati dan kecerdasan, maka akan menjadikan keadaan semakin kacau dan buruk.[14]
Bagi Emha, pemimpin yang ideal haruslah komplit. Komplit dalam arti bahwa ia tidak hanya cerdas  dalam hal akademik, tapi juga praktik; tak hanya mumpuni dalam hal masalah sosial, tapi juga spiritual (kebersihan hati); serta bukan seorang penakut yang lembek, melainkan seorang pemberani yang tegas dan bermental kuat. Pemimpin yang tegas, akan disegani siapapun. Dan ketegasan haruslah berasal dari kepercayaan diri. Kepercayaan diri berasal dari keyakinan akan apa yang menjadi keputusannya demi kemashlahatan warga negaranya.
Sedangkan pemimpin ideal bagi Aristoteles adalah seorang pemimpin yang dapat menjaga kesatuan warga negaranya. Ia berpendapat demikian karena mengacu pada argumen yang diberikan oleh Socrates, “Semakin besar kesatuan sebuah negara, maka semakin baik.” Sebab, negara memiliki sifat pluralitas dan bertujuan menjadi sebuah kesatuan yang lebih besar, dari sebuah negara menjadi sebuah keluarga dan dari sebuah keluarga menjadi individual. Keluarga bisa dikatakan lebih daripada sebuah negara dan seorang individu lebih dari sekedar keluarga.[15] Karena jika sebuah negara telah bertransformasi sebagai individu (dalam arti kesatuannya diibaratkan bagai seorang individu), maka kesatuan itu akan melahirkan kekuatan yang tak terkirakan. Hal ini senada dengan pepatah kita: bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Dalam memimpin negara demokrasi tidaklah diharuskan berjenis kelamin lelaki sebagaimana keyakinan salah satu golongan agama tertentu. Sebab, yang dibutuhkan dalam memimpin negara berasaskan demokrasi bukanlah jenis kelamin atau warna kulitnya, melainkan kapabilitasnya sebagai pemimpin negara yang menganut demokrasi. Karena demokrasi haruslah tercerminkan dalam segala hal, alias tidak hanya dalam hal praksis kehidupan masyarakat saja, melainkan juga dalam penentuan pemimpinnya.
Lelaki dan perempuan sama saja, karena menurut Gus Dur, perbedaan diantara keduanya hanyalah bersifat biologis,[16] bukan dalam hal kapabilitas kepemimpinan. Sebagaimana Gus dur, Plato mempercayai bahwa kaum wanita bisa memerintah sama efektifnya dengan kaum pria karena alasan sederhana, yaitu bahwa para pemimpin mengatur negara mereka berdasarkan akal mereka. Kaum wanita, dia menegaskan, mempunyai kemampuan penalaran yang persis sama dengan kaum pria, asalkan mereka mendapatkan latihan yang sama dan dibebaskan dari kewajiban membesarkan anak dan mengurusi rumah tangga.[17]
Maka dari uraian di atas, tak perlu meributkan masalah jenis kelamin yang sebenarnya hanyalah masalah biologis. Yang terpenting adalah memiliki pemimpin yang bisa memenuhi kriteria-kriteria yang telah disebutkan tadi, walaupun tak semua, setidaknya sebagian besar kriteria itu dapat terpenuhi. Karena itu bisa disebut ideal. Ideal dalam arti seorang pemimpin memiliki kapabilitas dan jiwa serta sifat-sifat kepemimpinan, serta sesuai dengan yang didambakan masyarakatnya.
Walau sebenarnya tidak ada manusia sempurna di dunia ini, akan tetapi setidaknya mendekati sempurna bukanlah hal yang tak mungkin.
D.    PENUTUP
Yang dapat penulis simpulkan dari uraian format kepemimpinan di atas adalah bahwa pemimpin ideal tidak harus berjenis kelamin tertentu melainkan harus memiliki hati yang bersih, kecerdasan akal, keberanian mental, mampu membawa integrasi pada warga negaranya, tangguh dan juga tegas serta mampu mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya.
Oleh karenanya, tak sembarang orang bisa memenuhi kriteria-kriteria itu karena tak ada seorangpun yang sempurna di dunia ini kecuali junjungan kita Nabi Muhammad saw. Yang tak hanya elok bagian luarnya, melainkan juga jiwa dan hatinya.(*)
 

1 komentar: